Minggu, 10 Juni 2012

kesetaraan

Siswa Tak Lulus Bisa Ikut Ujian Kesetaraan Paket B

Jakarta – Persentase kelulusan ujian nasional (UN) SMP 2012 sebesar 99,57 persen. Artinya terdapat 15.945 siswa yang tidak lulus UN SMP dari total peserta 3.697.865 siswa. Siswa-siswa tersebut tidak perlu menunggu UN tahun depan untuk memperoleh ijazah. “Mereka bisa mengikuti ujian kesetaraan paket B di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM),” ujar Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), M. Aman Wiranatakusumah, seusai jumpa pers tentang hasil UN SMP 2012 di Gedung A Kemdikbud, Jakarta, (1/6).
“Itu sebenarnya kan pendidikan yang kita kenal sebagai pendidikan nonformal. Jadi konsepnya di awal adalah untuk peserta didik yang di luar usia sekolah. Tapi kemudian dengan adanya kebijakan UN, bagi mereka yang belum lulus UN bisa pindah jalur ke ujian paket,” kata Aman.
Kebijakan yang dimaksud Aman adalah adanya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 15/2008 tentang Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK). UNPK adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik program Paket A, Paket B, dan Paket C yang dilakukan pemerintah. Satuan pendidikan nonformal kesetaraan salah satunya adalah PKBM.
Aman mengatakan, Permendiknas tersebut selanjutnya akan diperbaharui lagi tahun ini. “Peraturan untuk UNPK sudah diajukan ke Pak Menteri. Sudah digodok ke Biro Hukum untuk peraturan menteri”.
Untuk siswa kelas 3 SMP yang tidak lulus UN, dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian kesetaraan paket B ke PKBM yang telah memenuhi persyaratan. Misalnya telah memiliki program pendidikan yang baik, adanya mentor, dan peraturan.
Kemudian PKBM akan mengajukan daftar peserta kepada BSNP sebagai penyelenggara UNPK. Dalam pelaksanaan UNPK, BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Kecamatan.
Mata pelajaran yang diujikan dalam ujian paket kesetaraan paket B sama dengan mata pelajaran dalam ujian nasional, yaitu matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Soal ujian UNPK dibuat oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kemdikbud. “Untuk soal, masalahnya bukan persis sama atau tidak dengan UN, tapi tingkat kesulitannya yang sesuai dengan kisi-kisi daya serap dari mata pelajaran itu,” ujar Aman.
Selanjutnya, ijazah sebagai tanda bukti kelulusan akan dikeluarkan PKBM, baik untuk peserta didik di PKBM, maupun peserta dari siswa yang tidak lulus UN. Ijazah tersebut bisa digunakan untuk melanjutkan ke SMA, maupun untuk persyaratan administrasi melamar pekerjaan, seperti halnya ijazah yang dikeluarkan satuan pendidikan tingkat SMP. (DM)

sumber: http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/berita/375

Selasa, 22 Mei 2012

ketrampilan dan kecakapan hidup


Salah satu Seksi di PNFI Kota Semarang adalah Seksi Keterampilan dan Kecakapan Hidup. Seksi ini membawahi lembaga-lembaga sebagai berikut :
1. Lembaga Kursus
2. PUG (Pengarusutamaan Gender)
3. KBU (Kelompok Belajar Usaha)
4. KWD (Kursus Wirausaha Desa)
5. KWK (Kursus Wirausaha Kota)
6. KUPP
7. TBM (Taman Bacaan Masyarakat)

Lembaga Mitra
HIPKI (Himpunan Penyelenggara Kursus Indonesia)









Sumber: http://pnfisemarang.blogspot.com/p/keterampilan-dan-kecakapan-hidup.html

Bahasa Ibu Dan Pendidikan Keaksaraan

Karena manusia menjalani hubungan dengan sesama, maka melalui bahasa, pikiran, rasa dan kehendak harus dapat dinyatakan. Sedangkan setiap pemikiran, perasaan dan kehendak tidak lahir sendirinya, tetapi diawali dengan proses kopartisipasi. Karena itu dunia manusia adalah dunia komunikasi dan interaksi.
Komunikasi memiliki kekuatan mengubah, dan inilah yang dikembangkan oleh pendidikan. Tak ada bentuk dan model pendidikan yang tidak memiliki misi ini. Semua pendidikan diarahkan kepada proses perubahan, karena manusia sendiri pada dasarnya adalah realitas, dan berperan dalam proses perubahan.

Peran Bahasa Ibu
Pengenalan dan pemahaman keaksaraan memerlukan bahasa pengantar yang mudah dimengerti oleh kelompok partisipan. Bahasa itu adalah bahasa ibu, yaitu bahasa yang selama ini mereka gunakan dalam cara komunikasi sehari-hari. Dalam bahasa ibu terkandung simpati yang memantulkan solidaritas yang kuat dan rasa keterlibatan diri.
Sebagaimana layaknya seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya, ia tulus, ikhlas dan jujur ketika mengungkapkan perasaan, untuk dapat diketahui anaknya. Di situ juga terdapat hasrat yang dalam, dan cita-cita yang luhur dengan dorongan motivasi yang kuat untuk secara terus-menerus membawa anak-anaknya ke pintu gerbang kedewasaan.
Bahasa Ibu tidak sekedar dilihat dari sisi linguistik semata, tetapi mengandung bobot emosional yang merefleksikan ikatan batin yang menumbuhkan kesadaran untuk melakukan proses perubahan. Pengenalan keaksaraan jika ditekankan hanya dari sudut kepentingan lingustik semata, pembelajaran menjadi mekanistis, dan cara ini tidak memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis. Harus diingat bahwa keampuan membaca dimaksudkan tidak verbalistis, tetapi memahami apa yang dimaksud dengan tulisan dalam bacaan itu. Ia mampu membaca berarti mampu berkomunikasi dan memahami pesan-pesan bacaan. Ia belajar, karena hidup harus berubah. Bahasa Ibu tidak mengantarkan peserta pendidikan buta aksara kepada penghafalan kalimat-kalimat, kata-kata, dan suku kata-suku kata sebagai obyek-obyek kosong yang tidak berkaitan dengan lingkungan eksistensial, tetapi lebih mendorong kepada tumbuhnya kesadaran dan kemampuan mengubah sesuatu dengan mewujudkan apa yang dicita-citakannya. Dengan bahasa ibu berarti pendidikan memasuki dialog dengan mengenali situasi mereka yang konkret. Dengan pemahaman itu kita dapat menyediakan perangkat-perangkat, agar mereka dapat mengajari dirinya sendiri. Penggunaan bahasa ibu dalam praktek pendidikan menempatkan guru dan peserta didik sebagai kesatuan subyek, sehingga praktek pembelajaran berlangsung dari “dalam” ke “luar”, yaitu dari peserta didik dan untuk dirinya sendiri, karena mereka itulah sesungguhnya yang memiliki tujuan pendidikan, dan tugas guru hanyalah fasilitator. Kelompok buta aksara memiliki tingkat sensitivitas yang wajar, dan karena itu pendidikan keaksaraan harus lebih dahulu memahami tentang ihwal dan kondisi kehidupan mereka yang sebenarnya, yang bukan ditalar dan dikira-kira. Kehidupan mereka adalah realitas obyektif yang dengan apa adanya memiliki kehendak untuk mengubah hidup. Karena itu pendidikan keaksaraan harus lebih fungsional, yakni berguna memajukan taraf kehidupan.

Tanggung Jawab
Untuk tercapainya tujuan pendidikan keaksaraan seperti itu, maka pendidikan harus diselenggarakan atas dasar kasih sayang dan tanggung jawab. Sebagaimana seorang ibu ketika mengajari anak-anaknya, dasarnya adalah cinta dan tanggung jawab. Seorang ibu tidak mungkin mengajarkan sesuatu pada anaknya, kalau ia sendiri tidak memahami apa yang menjadi kebutuhan bagi anaknya itu.
Dalam bahasa ibu mengalir perasaan cinta yang dikemas dengan bingkai tanggung jawab. Sentuhan kasih sayang menembus relung hati dan merajut emosional, sehingga materi-materi pendidikan difahami sebagai proses pencerahan dan kemanusiaan, bukan malah pembodohan. Tentu saja, karena dasarnya adalah tanggung jawab, maka materi-materi pembelajaran dan tema pokok pendidikan diteliti lebih dahulu, dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks lingkungan peserta didik. Bahkan sedapat mungkin kosa kata-kosa kata yang dijadikan materi pokok pembelajaran itu merupakan ungkapan-ungkapan yang tumbuh dari pengalaman mereka sendiri. Sebab dari situ akan terungkap kerinduan-kerinduan, kekecewaan-kekecewaan dan harapan-harapan besar yang hendak digapai. Dengan demikian terbentuklah pendidikan sebagai proses aktualisasi dan humanisasi.

Pengayaan Fonemik
Salah satu tugas pokok pendidikan adalah memperkaya informasi, yang relevan dan actual, yang tidak memungkinkan orang jenuh karenanya. Dalam bahasa ibu terdapat ribuan kosa kata. Sebagai bahasa pendidikan, tidak semua kata-kata itu pantas diucapkan di hadapan anak didik. Kemampuan pendidik, seperti juga kemampuan seorang ibu justru terletak pada kesanggupan memilih kata-kata yang baik, tepat, efektif dan menarik. Dalam hal ini pendidikan tidak dibiarkan kering-kerontang, dan menghindari pengulangan-pengulangan. Karena itu pengayaan fonem yang mereka pelajari bersama selalu bersifat baru, menantang, menarik, fungsional dan demikian menghadapkan mereka kepada situasi yang penuh motivasi dalam belajar. Sifat-sifat dasar fonemik, pada tahap awal disajikan dalam bentuk yang konkret, dan tidak mempersulit mereka dengan pengertian-pengertian abstrak. Sebagaimana layaknya seorang ibu, pada tahun-tahun permulaan ia memilih kata-kata yang sederhana, pendek, mudah didengar dan diingat. Tetapi seiring waktu dan perkembangan anak didik, ia juga menyajikan kata-kata dalam bentuk kalimat-kalimat. Seorang ibu tak pernah merasa kekurangan kata-kata. Sifat ini pula yang harus diwarisi oleh para tutor, yaitu memiliki perbendaharaan informasi yang kaya.



Oleh Moehamad Naim
Penulis adalah pengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untirta Serang-Banten dan Direktur Lembaga Kajian Pembangunan dan Pengembangan Pendidikan Indonesia ( LK-p3i ) 

Sumber: http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=12724

pemberdayaan perempuan pada TKI


Selasa, 08 Mei 2012

Inikah Nasib Anak Bangsa?

Apabila anda sedang berpergian ke suatu tempat apalagi kalau menggunakan angkutan kota baik bus maupun angkot pasti anda sering melihat beberapa anak kecil yang membawa beberapa kertas yang dibentuk sedemikian rupa layaknya amplop kecil, ataupun membawa sebuah kantung bekas pembungkus permen yang difungsikan untuk mengumpulkan receh dari si penumpang angkot, belum lagi properti yang mereka bawa seperti botol aqua yang diisi beras untuk menghasilkan sebuah bunyi yang akan mereka kolaborasikan dengan suara mereka yang ala kadar nya, gitar ukulele yang kadang mereka mainkan dengan indah, bahkan banyak juga yang membawa biola dan melantunkan lagu dengan suara yang indah yang kadang membuat saya berdecak kagum dan heran dengan siapa mereka mempelajari alat musik tersebut. Yaa mereka adalah anak jalanan yang sering berkeliaran di tempat-tempat umum terutama kolong jembatan atau terminal
Kadang saya merasa tak tega ketika melihat anak-anak kecil yang naik-turun angkot untuk mengumpulkan receh belas kasihan dari penumpang, yang terbesit dipikiran saya adalah kemanakah ibu mereka yang harusnya mengurus dan menjaga mereka? Ataukah ibu mereka malah memanfaatkan mereka sebagai “alat” pencari nafkah. Ketika mereka mengumpulkan receh-receh dari sang penumpang, ibu mereka hanya memantau dari jauh dan hanya mengumpulkan “hasil” yang anak mereka dapatkan? Karena saya merasa penasaran, sehari sebelumnya saya sudah merencanakan untuk melakukan survey langsung ke suatu tempat yang sering saya lewati yang menurut saya terdapat banyak kumpulan anak jalanan. Saya pun telah menyiapkan snack-snack yang dibungkus layaknya hadiah ulangtahun yang akan saya berikan kepada mereka.
Sore itu tanggal 18 April 2012 ketika saya pulang kuliah, saya pun mengajak rekan satu kampus saya yang bernama Deviana Ajeng Pratiwi untuk melakukan survey langsung dan bercakap-cakap dengan anak jalanan di daerah Pasar Rebo, kebetulan ia pun mau berpartisipasi dan membantu saya. Kami langsung menuju tempat tersebut dan perhatian saya pun tertuju pada 3 orang anak kecil yang berdiri di sisi jalan. Karena kala itu sedang lampu merah dan motor yang teman saya bawa pun tidak bisa parkir di pinggir jalan, saya pun turun dan langsung menghampiri anak jalanan tersebut untuk membuat kontrak Dengan lembut saya menyapa salah satu anak jalanan untuk meminta kesediaannya mengobrol-ngobrol dengan saya, tetapi anak tersebut tampak ketakutan dan menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah saya ingin berniat jahat kepadanya. Seketika, teman-temannya pun ikut datang menghampiri kami. Awalnya mereka semua tak mau saya wawancarai, tapi atas bujukan dan rayuan maut saya mereka pun akhirnya mau hehehehe. Sebelumnya pun salah satu anak  jalanan tersebut berbisik-bisik kepada temannya. Mereka pun mau diwawancarai asal dikasi duit.  “De, kaka gak bisa ngasih kalian duit, tapi kaka cuma bawa ini untuk kalian (sambil menunjuk kantong plastik hitam yang penuh dengan snack)”. Tegas saya. Mereka akhirny mau, teman saya pun meminta izin untuk melakukan survey dan memarkirkan motornya di pos polisi yang kemudian disambut baik oleh Pak Pol tersebut.
Saya dan rekan saya, Deviana pun memulai percakapan setelah sebelumnya kami berkenalan dengan 7 orang anak jalanan. Diketahui mereka adalah Wulan (12 tahun), Malika (10 tahun), Deni (9 tahun), Via (8 tahun), Said (2 tahun), Aisyah (4 tahun) dan satu lagi saya lupa menanyakan namanya karena masih kecil dan selalu digendong oleh Wulan. Setelah berkenalan dan menanyakan tempat tinggal mereka, saya pun menanyakan apakah mereka masih bersekolah, jawaban mereka pun “iya”. Ngamen di kolong jembatan adalah pekerjaan sambilan mereka ketika pulang sekolah, mereka mulai mengamen dari jam 16.00 sampai pukul 21.00. Di luar dugaan saya yang tadinya menyangka mereka tidak bersekolah sama sekali. Saya pun bertanya “Kenapa kamu nggak di rumah saja, kan lebih enak daripada harus berpanas-panasan, turun-naik angkot mengamen”, mereka pun menjawab “Kita ngamen buat nyari duit jajan aja kak, kalo nggak ngamen nggak ada yang ngasih kita duit jajan”. Sehari pun mereka bisa mendapatkan 20rbu atau paling banyak 30rbu. “Apa kamu nggak takut ngamen sampe malem disini”, Tanya saya lagi kepada mereka. “Takut sih takut kak, soalnya aku suka nonton Patroli, takutnya di culik atau diperkosa”, Jawab Wulan.
13348300052139136485
Mereka pun pernah juga tertangkap Tramtib, tetapi akhirnya mereka dibebaskan karena salah satu orangtua mereka yang membantu membebaskan mereka. Tampaknya perhatian orangtua lah yang harusnya menjadi hal yang utama sehingga hal seperti itu tidak terjadi lagi. Saya pun bertanya cita-cita mereka, dan cita-cita mereka pun sangat mulia, kebanyakan dari mereka ingin menjadi dokter, dan Deni ingin sekali menjadi polisi. Hanya doa dalam hati yang dapat saya panjatkan agar Allah SWT dapat mengabulkan keinginan mereka. Karena mereka adalah calon pemimpin kita, calon pemimpin bangsa, generasi penerus yang harusnya menjadi orang-orang yang mensukseskan negeri ini.
Itu hanya sebagian kecil dari anak-anak jalanan yang terlantar di Negara kita. Masih banyak anak jalanan diluar sana yang bahkan tidak dapat merasakan duduk dibangku sekolah. Kondisi mereka sangat berbeda dengan anak seusia mereka lainnya yang memiliki keberuntungan untuk mengenyam pendidikan disekolah, terpenuhinya segala kebutuhan-kebutuhan mereka, serta kenyamanan tinggal di sebuah rumah dengan fasilitas yang memadai. Miris rasanya melihat mereka berkeliaran dijalanan sampai malam hari, belum lagi resiko-resiko buruk yang sewaktu-waktu bisa mereka hadapi.
1334829889168864932
        Pemandangan unik dan cukup memprihatinkan yang pernah saya lihat adalah ketika ada seorang anak yang sangat kecil mendorong sebuah gerobak ukuran mini yang di design layaknya gerobak seorang tukang loak, yang mereka tarik sambil mengumpulkan barang-barang yang memiliki nilai untuk ditukarkan menjadi rupiah. Yang terlintas dipikiran saya adalah sedari kecil tampaknya anak itu sudah dilatih untuk menjadi “pemulung” bukankah tugas mereka hanya sekola untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya agar menjadi generasi penerus yang dapat memimpin bangsa ini, bukannya harus menghadapi kerasnya mencari sesuap nasi di jalan.
Saya pun pernah berkhayal, seandainya saya memilik banyak dana untuk membangun sebuah sekolah untuk anak jalanan, dan bisa berkecimpung serta memberikan kontribusi untuk memberikan pendidikan kepada mereka, alangkah indahnya daripada mereka harus melakukan pekerjan-pekerjaan yang tidak layak mereka lakukan dengan usia mereka yang sekecil itu. Tidak jauh-jauh KEMISKINAN lah yang menjadi faktor utamanya. Mereka pun terpaksa melakukan hal tersebut agar dapur mereka tetap berasap. Bukankah Dalam Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 disebutkan,“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara. Tapi tampaknya pemerintah belum melakukan hal ini secara maksimal. Banyak anak-anak yang terlantar di luar sana yang tidak dapat bersekolah karena kemiskinan. Sungguh menjadi ironi. Atau mungkin pemerintah terlalu sibuk mengurus masalah besar, sehingga masalah kecil seperti ini menjadi terabaikan. Kalau pun harus ada pembenahan, mungkin harus dilakukan secara bertahap dan kalau bisa menyeluruh. Apakah bisa ?

Sumber:  http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/19/inikah-nasib-anak-bangsa/

Nasib Anak Bangsa

 

Sumber: youtube.com 


Pembelajaran Anak-anak PAUD

 Gerak dan Lagu Untuk Anak PAUD

Sumber: Youtube.com