Selasa, 22 Mei 2012
ketrampilan dan kecakapan hidup
Salah satu Seksi di PNFI Kota Semarang adalah Seksi Keterampilan dan Kecakapan Hidup. Seksi ini membawahi lembaga-lembaga sebagai berikut :
1. Lembaga Kursus
2. PUG (Pengarusutamaan Gender)
3. KBU (Kelompok Belajar Usaha)
4. KWD (Kursus Wirausaha Desa)
5. KWK (Kursus Wirausaha Kota)
6. KUPP
7. TBM (Taman Bacaan Masyarakat)
Lembaga Mitra
HIPKI (Himpunan Penyelenggara Kursus Indonesia)
Sumber: http://pnfisemarang.blogspot.com/p/keterampilan-dan-kecakapan-hidup.html
Bahasa Ibu Dan Pendidikan Keaksaraan
Karena manusia menjalani hubungan dengan sesama, maka melalui bahasa, pikiran, rasa dan kehendak harus dapat dinyatakan. Sedangkan setiap pemikiran, perasaan dan kehendak tidak lahir sendirinya, tetapi diawali dengan proses kopartisipasi. Karena itu dunia manusia adalah dunia komunikasi dan interaksi.
Komunikasi memiliki kekuatan mengubah, dan inilah yang dikembangkan oleh pendidikan. Tak ada bentuk dan model pendidikan yang tidak memiliki misi ini. Semua pendidikan diarahkan kepada proses perubahan, karena manusia sendiri pada dasarnya adalah realitas, dan berperan dalam proses perubahan.
Komunikasi memiliki kekuatan mengubah, dan inilah yang dikembangkan oleh pendidikan. Tak ada bentuk dan model pendidikan yang tidak memiliki misi ini. Semua pendidikan diarahkan kepada proses perubahan, karena manusia sendiri pada dasarnya adalah realitas, dan berperan dalam proses perubahan.
Peran Bahasa Ibu
Pengenalan dan pemahaman keaksaraan memerlukan bahasa pengantar yang mudah dimengerti oleh kelompok partisipan. Bahasa itu adalah bahasa ibu, yaitu bahasa yang selama ini mereka gunakan dalam cara komunikasi sehari-hari. Dalam bahasa ibu terkandung simpati yang memantulkan solidaritas yang kuat dan rasa keterlibatan diri.
Sebagaimana layaknya seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya, ia tulus, ikhlas dan jujur ketika mengungkapkan perasaan, untuk dapat diketahui anaknya. Di situ juga terdapat hasrat yang dalam, dan cita-cita yang luhur dengan dorongan motivasi yang kuat untuk secara terus-menerus membawa anak-anaknya ke pintu gerbang kedewasaan.
Bahasa Ibu tidak sekedar dilihat dari sisi linguistik semata, tetapi mengandung bobot emosional yang merefleksikan ikatan batin yang menumbuhkan kesadaran untuk melakukan proses perubahan. Pengenalan keaksaraan jika ditekankan hanya dari sudut kepentingan lingustik semata, pembelajaran menjadi mekanistis, dan cara ini tidak memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis. Harus diingat bahwa keampuan membaca dimaksudkan tidak verbalistis, tetapi memahami apa yang dimaksud dengan tulisan dalam bacaan itu. Ia mampu membaca berarti mampu berkomunikasi dan memahami pesan-pesan bacaan. Ia belajar, karena hidup harus berubah. Bahasa Ibu tidak mengantarkan peserta pendidikan buta aksara kepada penghafalan kalimat-kalimat, kata-kata, dan suku kata-suku kata sebagai obyek-obyek kosong yang tidak berkaitan dengan lingkungan eksistensial, tetapi lebih mendorong kepada tumbuhnya kesadaran dan kemampuan mengubah sesuatu dengan mewujudkan apa yang dicita-citakannya. Dengan bahasa ibu berarti pendidikan memasuki dialog dengan mengenali situasi mereka yang konkret. Dengan pemahaman itu kita dapat menyediakan perangkat-perangkat, agar mereka dapat mengajari dirinya sendiri. Penggunaan bahasa ibu dalam praktek pendidikan menempatkan guru dan peserta didik sebagai kesatuan subyek, sehingga praktek pembelajaran berlangsung dari “dalam” ke “luar”, yaitu dari peserta didik dan untuk dirinya sendiri, karena mereka itulah sesungguhnya yang memiliki tujuan pendidikan, dan tugas guru hanyalah fasilitator. Kelompok buta aksara memiliki tingkat sensitivitas yang wajar, dan karena itu pendidikan keaksaraan harus lebih dahulu memahami tentang ihwal dan kondisi kehidupan mereka yang sebenarnya, yang bukan ditalar dan dikira-kira. Kehidupan mereka adalah realitas obyektif yang dengan apa adanya memiliki kehendak untuk mengubah hidup. Karena itu pendidikan keaksaraan harus lebih fungsional, yakni berguna memajukan taraf kehidupan.
Tanggung Jawab
Untuk tercapainya tujuan pendidikan keaksaraan seperti itu, maka pendidikan harus diselenggarakan atas dasar kasih sayang dan tanggung jawab. Sebagaimana seorang ibu ketika mengajari anak-anaknya, dasarnya adalah cinta dan tanggung jawab. Seorang ibu tidak mungkin mengajarkan sesuatu pada anaknya, kalau ia sendiri tidak memahami apa yang menjadi kebutuhan bagi anaknya itu.
Dalam bahasa ibu mengalir perasaan cinta yang dikemas dengan bingkai tanggung jawab. Sentuhan kasih sayang menembus relung hati dan merajut emosional, sehingga materi-materi pendidikan difahami sebagai proses pencerahan dan kemanusiaan, bukan malah pembodohan. Tentu saja, karena dasarnya adalah tanggung jawab, maka materi-materi pembelajaran dan tema pokok pendidikan diteliti lebih dahulu, dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks lingkungan peserta didik. Bahkan sedapat mungkin kosa kata-kosa kata yang dijadikan materi pokok pembelajaran itu merupakan ungkapan-ungkapan yang tumbuh dari pengalaman mereka sendiri. Sebab dari situ akan terungkap kerinduan-kerinduan, kekecewaan-kekecewaan dan harapan-harapan besar yang hendak digapai. Dengan demikian terbentuklah pendidikan sebagai proses aktualisasi dan humanisasi.
Pengayaan Fonemik
Salah satu tugas pokok pendidikan adalah memperkaya informasi, yang relevan dan actual, yang tidak memungkinkan orang jenuh karenanya. Dalam bahasa ibu terdapat ribuan kosa kata. Sebagai bahasa pendidikan, tidak semua kata-kata itu pantas diucapkan di hadapan anak didik. Kemampuan pendidik, seperti juga kemampuan seorang ibu justru terletak pada kesanggupan memilih kata-kata yang baik, tepat, efektif dan menarik. Dalam hal ini pendidikan tidak dibiarkan kering-kerontang, dan menghindari pengulangan-pengulangan. Karena itu pengayaan fonem yang mereka pelajari bersama selalu bersifat baru, menantang, menarik, fungsional dan demikian menghadapkan mereka kepada situasi yang penuh motivasi dalam belajar. Sifat-sifat dasar fonemik, pada tahap awal disajikan dalam bentuk yang konkret, dan tidak mempersulit mereka dengan pengertian-pengertian abstrak. Sebagaimana layaknya seorang ibu, pada tahun-tahun permulaan ia memilih kata-kata yang sederhana, pendek, mudah didengar dan diingat. Tetapi seiring waktu dan perkembangan anak didik, ia juga menyajikan kata-kata dalam bentuk kalimat-kalimat. Seorang ibu tak pernah merasa kekurangan kata-kata. Sifat ini pula yang harus diwarisi oleh para tutor, yaitu memiliki perbendaharaan informasi yang kaya.
Oleh Moehamad Naim
Penulis adalah pengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untirta Serang-Banten dan Direktur Lembaga Kajian Pembangunan dan Pengembangan Pendidikan Indonesia ( LK-p3i )
Sumber: http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=12724
Selasa, 08 Mei 2012
Inikah Nasib Anak Bangsa?
Apabila anda sedang berpergian ke suatu tempat apalagi kalau menggunakan angkutan kota baik bus maupun angkot pasti anda sering melihat beberapa anak kecil yang membawa beberapa kertas yang dibentuk sedemikian rupa layaknya amplop kecil, ataupun membawa sebuah kantung bekas pembungkus permen yang difungsikan untuk mengumpulkan receh dari si penumpang angkot, belum lagi properti yang mereka bawa seperti botol aqua yang diisi beras untuk menghasilkan sebuah bunyi yang akan mereka kolaborasikan dengan suara mereka yang ala kadar nya, gitar ukulele yang kadang mereka mainkan dengan indah, bahkan banyak juga yang membawa biola dan melantunkan lagu dengan suara yang indah yang kadang membuat saya berdecak kagum dan heran dengan siapa mereka mempelajari alat musik tersebut. Yaa mereka adalah anak jalanan yang sering berkeliaran di tempat-tempat umum terutama kolong jembatan atau terminal
Kadang saya merasa tak tega ketika melihat anak-anak kecil yang naik-turun angkot untuk mengumpulkan receh belas kasihan dari penumpang, yang terbesit dipikiran saya adalah kemanakah ibu mereka yang harusnya mengurus dan menjaga mereka? Ataukah ibu mereka malah memanfaatkan mereka sebagai “alat” pencari nafkah. Ketika mereka mengumpulkan receh-receh dari sang penumpang, ibu mereka hanya memantau dari jauh dan hanya mengumpulkan “hasil” yang anak mereka dapatkan? Karena saya merasa penasaran, sehari sebelumnya saya sudah merencanakan untuk melakukan survey langsung ke suatu tempat yang sering saya lewati yang menurut saya terdapat banyak kumpulan anak jalanan. Saya pun telah menyiapkan snack-snack yang dibungkus layaknya hadiah ulangtahun yang akan saya berikan kepada mereka.
Sore itu tanggal 18 April 2012 ketika saya pulang kuliah, saya pun mengajak rekan satu kampus saya yang bernama Deviana Ajeng Pratiwi untuk melakukan survey langsung dan bercakap-cakap dengan anak jalanan di daerah Pasar Rebo, kebetulan ia pun mau berpartisipasi dan membantu saya. Kami langsung menuju tempat tersebut dan perhatian saya pun tertuju pada 3 orang anak kecil yang berdiri di sisi jalan. Karena kala itu sedang lampu merah dan motor yang teman saya bawa pun tidak bisa parkir di pinggir jalan, saya pun turun dan langsung menghampiri anak jalanan tersebut untuk membuat kontrak Dengan lembut saya menyapa salah satu anak jalanan untuk meminta kesediaannya mengobrol-ngobrol dengan saya, tetapi anak tersebut tampak ketakutan dan menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah saya ingin berniat jahat kepadanya. Seketika, teman-temannya pun ikut datang menghampiri kami. Awalnya mereka semua tak mau saya wawancarai, tapi atas bujukan dan rayuan maut saya mereka pun akhirnya mau hehehehe. Sebelumnya pun salah satu anak jalanan tersebut berbisik-bisik kepada temannya. Mereka pun mau diwawancarai asal dikasi duit. “De, kaka gak bisa ngasih kalian duit, tapi kaka cuma bawa ini untuk kalian (sambil menunjuk kantong plastik hitam yang penuh dengan snack)”. Tegas saya. Mereka akhirny mau, teman saya pun meminta izin untuk melakukan survey dan memarkirkan motornya di pos polisi yang kemudian disambut baik oleh Pak Pol tersebut.
Saya dan rekan saya, Deviana pun memulai percakapan setelah sebelumnya kami berkenalan dengan 7 orang anak jalanan. Diketahui mereka adalah Wulan (12 tahun), Malika (10 tahun), Deni (9 tahun), Via (8 tahun), Said (2 tahun), Aisyah (4 tahun) dan satu lagi saya lupa menanyakan namanya karena masih kecil dan selalu digendong oleh Wulan. Setelah berkenalan dan menanyakan tempat tinggal mereka, saya pun menanyakan apakah mereka masih bersekolah, jawaban mereka pun “iya”. Ngamen di kolong jembatan adalah pekerjaan sambilan mereka ketika pulang sekolah, mereka mulai mengamen dari jam 16.00 sampai pukul 21.00. Di luar dugaan saya yang tadinya menyangka mereka tidak bersekolah sama sekali. Saya pun bertanya “Kenapa kamu nggak di rumah saja, kan lebih enak daripada harus berpanas-panasan, turun-naik angkot mengamen”, mereka pun menjawab “Kita ngamen buat nyari duit jajan aja kak, kalo nggak ngamen nggak ada yang ngasih kita duit jajan”. Sehari pun mereka bisa mendapatkan 20rbu atau paling banyak 30rbu. “Apa kamu nggak takut ngamen sampe malem disini”, Tanya saya lagi kepada mereka. “Takut sih takut kak, soalnya aku suka nonton Patroli, takutnya di culik atau diperkosa”, Jawab Wulan.

Mereka pun pernah juga tertangkap Tramtib, tetapi akhirnya mereka dibebaskan karena salah satu orangtua mereka yang membantu membebaskan mereka. Tampaknya perhatian orangtua lah yang harusnya menjadi hal yang utama sehingga hal seperti itu tidak terjadi lagi. Saya pun bertanya cita-cita mereka, dan cita-cita mereka pun sangat mulia, kebanyakan dari mereka ingin menjadi dokter, dan Deni ingin sekali menjadi polisi. Hanya doa dalam hati yang dapat saya panjatkan agar Allah SWT dapat mengabulkan keinginan mereka. Karena mereka adalah calon pemimpin kita, calon pemimpin bangsa, generasi penerus yang harusnya menjadi orang-orang yang mensukseskan negeri ini.
Itu hanya sebagian kecil dari anak-anak jalanan yang terlantar di Negara kita. Masih banyak anak jalanan diluar sana yang bahkan tidak dapat merasakan duduk dibangku sekolah. Kondisi mereka sangat berbeda dengan anak seusia mereka lainnya yang memiliki keberuntungan untuk mengenyam pendidikan disekolah, terpenuhinya segala kebutuhan-kebutuhan mereka, serta kenyamanan tinggal di sebuah rumah dengan fasilitas yang memadai. Miris rasanya melihat mereka berkeliaran dijalanan sampai malam hari, belum lagi resiko-resiko buruk yang sewaktu-waktu bisa mereka hadapi.

Pemandangan unik dan cukup memprihatinkan yang pernah saya lihat adalah ketika ada seorang anak yang sangat kecil mendorong sebuah gerobak ukuran mini yang di design layaknya gerobak seorang tukang loak, yang mereka tarik sambil mengumpulkan barang-barang yang memiliki nilai untuk ditukarkan menjadi rupiah. Yang terlintas dipikiran saya adalah sedari kecil tampaknya anak itu sudah dilatih untuk menjadi “pemulung” bukankah tugas mereka hanya sekola untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya agar menjadi generasi penerus yang dapat memimpin bangsa ini, bukannya harus menghadapi kerasnya mencari sesuap nasi di jalan.
Saya pun pernah berkhayal, seandainya saya memilik banyak dana untuk membangun sebuah sekolah untuk anak jalanan, dan bisa berkecimpung serta memberikan kontribusi untuk memberikan pendidikan kepada mereka, alangkah indahnya daripada mereka harus melakukan pekerjan-pekerjaan yang tidak layak mereka lakukan dengan usia mereka yang sekecil itu. Tidak jauh-jauh KEMISKINAN lah yang menjadi faktor utamanya. Mereka pun terpaksa melakukan hal tersebut agar dapur mereka tetap berasap. Bukankah Dalam Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 disebutkan,“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara. Tapi tampaknya pemerintah belum melakukan hal ini secara maksimal. Banyak anak-anak yang terlantar di luar sana yang tidak dapat bersekolah karena kemiskinan. Sungguh menjadi ironi. Atau mungkin pemerintah terlalu sibuk mengurus masalah besar, sehingga masalah kecil seperti ini menjadi terabaikan. Kalau pun harus ada pembenahan, mungkin harus dilakukan secara bertahap dan kalau bisa menyeluruh. Apakah bisa ?
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/19/inikah-nasib-anak-bangsa/
Pendidikan Seumur Hidup dan Ranah Pendidikan
Hubungan antara manusia dan pendidikan sangat erat. Setiap orang dikenai dan
terpanggil untuk melaksanakan pendidikan, aanak-anak menerima pendidikan dari orangtuanya dan bilamereka telah dewasa dan berkeluarga maka mereka juga akan mendidik anak-anaknya. Pada dasarnya realisai pendidikan di Indonesia melaui beberapa jalur; pendidikan melaui jalur keluarga disebut pendidkan informal; pendidikan yang dilaksanakan oleh para pendidik melalui jalur lembaga pendidikan dalam sekolah (PDS) disebut pedidikan formal. Sedangkan pendidikan yang dilakukan di luar jalur keluarga dan sekolah disebutkan pendidikan luar sekolah (PLS) atau pendidikan non formal.

Pendidikan Seumur Hidup dan Ranah Pendidikan
Pendidikan sebagai semua pengalam belajar yang berlangsung lam segala lingkungan (dalam keluarga/sekolah dan atau masyarakat) dan berlangsung sepanjang hidup(PSH) yang disebut life long education, Melalui pendidikan ada ranah dalam diri manusia yang akan dikembangkan pada anak didik yaitu ranah afeksi (rasa dan karsa) atau yang lazim disebut perasaan dan kemauan. Ranah cognisi yaitu cipta otak (pikiran)dan ranah psikomotor yaitu ketrampilan.
Pendidikan sebagai semua pengalam belajar yang berlangsung lam segala lingkungan (dalam keluarga/sekolah dan atau masyarakat) dan berlangsung sepanjang hidup(PSH) yang disebut life long education, Melalui pendidikan ada ranah dalam diri manusia yang akan dikembangkan pada anak didik yaitu ranah afeksi (rasa dan karsa) atau yang lazim disebut perasaan dan kemauan. Ranah cognisi yaitu cipta otak (pikiran)dan ranah psikomotor yaitu ketrampilan.
Jika dijabarkan lebih rinci tentang pendidikan mencakup banyak hal yang bertalian dengan perkembangan manusia, mulai dari perkembangan fisik, kesehatan, ketrampilan pikiran, perasaan, kemauan, sosial sampai kepada perkembangan iman, mental, spiritual maka akan didapatkan hasil secara seimbang. Pendidikan membuat manusia lebih sempurna (berkualitas) atau lebih utuh dalam meningkatkan (membangun)hidupnya dari taraf kehidupan alamiah ke taraf ke hidupan berbudaya. Ada semboyan yang terkenal : “Makin tinggi kualitas SDM makin besar jaminan bahwa pembangunan akan berhasil”. Semakin banyak pendidikan yang diperoleh seseorang, semakin berbudaya orang itu. Budaya adalah segala hasil pikiran , kemauan dan karya manusi baik secara individual maupun kelompok yang berguna bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Semakin tinggi budaya suatu bangsa berarti semakin tinggi pendidikannya.Semakin tinggi budaya suatu bangsa berarti semakin tinggi harkat kemanusiaannya. Oleh sebab itu pendidikan diakui peranannya sebagai upaya memanusiakan manusia (humanisasi) agar perilakunya menjadi manusiawi (hominisasi).
.pendidikan seumur hidup.analisis swot.artikel pendiidkan seumur hidup.makalah tentang pendidikan seumur hidup.Sumber: http://www.imadiklus.com/2010/10/pendidikan-seumur-hidup-dan-ranah-pendidikan.html
kePLSan
MEMBANGUN KARAKTER SEJAK PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


Kawan, jika saya ditanya kapan sih waktu yang tepat untuk menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang? Maka, jawabnya adalah saat masih usia dini. Benarkah? Baiklah akan saya bagikan sebuah fakta yang telah banyak diteliti oleh para peneliti dunia.
Pada usia dini 0-6 tahun, otak berkembang sangat cepat hingga 80 persen. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa yang dimana perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak akan mulai terbentuk. Karena itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa-masa emas anak (golden age).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli Perkembangan dan Perilaku Anak dari Amerika bernama Brazelton menyebutkan bahwa pengalaman anak pada bulan dan tahun pertama kehidupannya sangat menentukan apakah anak ini akan mampu menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan apakah ia akan menunjukkan semangat tinggi untuk belajar dan berhasil dalam pekerjaannya.
Nah, oleh karena itu, kita sebagai orang tua hendaknya memanfaatkan masa emas anak untuk memberikan pendidikan karakter yang baik bagi anak. Sehingga anak bisa meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam kehidupannya di masa mendatang. Kita sebagai orang tua kadang tidak sadar, sikap kita pada anak justru akan menjatuhkan si anak. Misalnya, dengan memukul, memberikan pressure yang pada akhirnya menjadikan anak bersikap negatif, rendah diri atau minder, penakut dan tidak berani mengambil resiko, yang pada akhirnya karakter-karakter tersebut akan dibawanya sampai ia dewasa. Ketika dewasa karakter semacam itu akan menjadi penghambat baginya dalam meraih dan mewujudkan keinginannya. Misalnya, tidak bisa menjadi seorang public speaker gara-gara ia minder atau malu. Tidak berani mengambil peluang tertentu karena ia tidak mau mengambil resiko dan takut gagal. Padahal, jika dia bersikap positif maka resiko bisa diubah sebagai tantangan untuk meraih keberhasilan. Anda setuju kan?
Banyak yang mengatakan keberhasilan kita ditentukan oleh seberapa jenius otak kita. Semakin kita jenius maka semakin sukses. Semakin kita meraih predikat juara kelas berturut-turut, maka semakin sukseslah kita. Benarkah demikian? Eit tunggu dulu!
Saya sendiri kurang setuju dengan anggapan tersebut. Fakta membuktikan, banyak orang sukses justru tidak mendapatkan prestasi gemilang di sekolahnya, mereka tidak mendapatkan juara kelas atau menduduki posisi teratas di sekolahnya. Mengapa demikian? Karena sebenarnya kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak kita saja. Namun kesuksesan ternyata lebih dominan ditentukan oleh kecakapan membangung hubungan emosional kita dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Selain itu, yang tidak boleh ditinggalkan adalah hubungan spiritual kita dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Tahukah anda bahwa kecakapan membangun hubungan dengan tiga pilar (diri sendiri, sosial, dan Tuhan) tersebut merupakan karakter-karakter yang dimiliki orang-orang sukses. Dan, saya beritahukan pada anda bahwa karakter tidak sepenuhnya bawaan sejak lahir. Karakter semacam itu bisa dibentuk. Wow, Benarkah? Saya katakan Benar! Dan pada saat anak berusia dini-lah terbentuk karakter-karakter itu. Seperti yang kita bahas tadi, bahwa usia dini adalah masa perkembangan karakter fisik, mental dan spiritual anak mulai terbentuk. Pada usia dini inilah, karakter anak akan terbentuk dari hasil belajar dan menyerap dari perilaku kita sebagai orang tua dan dari lingkungan sekitarnya. Pada usia ini perkembang mental berlangsung sangat cepat. Pada usia itu pula anak menjadi sangat sensitif dan peka mempelajari dan berlatih sesuatu yang dilihatnya, dirasakannya dan didengarkannya dari lingkungannya. Oleh karena itu, lingkungan yang positif akan membentuk karakter yang positif dan sukses.
Lalu, bagaimana cara membangun karakter anak sejak usia dini?
Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Untuk itu, Tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini, salah satunya dengan cara memberikan kepercayaan pada anak untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak mengarahkan potensinya dengan begitu mereka lebih mampu untuk bereksplorasi dengan sendirinya, tidak menekannya baik secara langsung atau secara halus, dan seterusnya. Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ingat pilihan terhadap lingkungan sangat menentukan pembentukan karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan penjual minyak wangi akan ikut wangi, bergaul dengan penjual ikan akan ikut amis. Seperti itulah, lingkungan baik dan sehat akan menumbuhkan karakter sehat dan baik, begitu pula sebaliknya. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan YME terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan sosial.
Nah, sekarang kita memahami mengapa membangun pendidikan karakter anak sejak usia dini itu penting. Usia dini adalah usia emas, maka manfaatkan usia emas itu sebaik-baiknya.
Sumber: http://www.pendidikankarakter.com/membangun-karakter-sejak-pendidikan-anak-usia-dini/
Pemberdayaan Perempuan Desa
Bulan ini seluruh orang di dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Upaya kesetaraan gender tentu masih diperjuangkan dalam segala bidang. Diantaranya adalah hak pemberdayaan bagi perempuan di desa, termasuk bagi perempuan nelayan dan petani. Rupanya peran perempuan di kedua bidang itu sangat penting. Namun kenyataannya peran perempuan mulai tergeser sedikit demi sedikit, oleh pemerintah maupun masyarakat. Seperti apa pergerseran itu? Bagaimana cara mengatasinya? Peran Perempuan Dalam Ketersediaan Pangan
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Kiara mencatat perempuan hidup di pesisir laut bekerja sekitar 17 jam sehari untuk pemenuhan hidup keluarga. Para perempuan itu memang tidak langsung turun lapangan untuk melaut. Tapi andil mereka cukup besar, yaitu mengolah, memproduksi sekaligus menjual hasil tangkapan. Selain itu mereka juga mengatur kebutuhan makanan untuk keluarga. Koordinator Divisi Manajemen Pengetahuan Kiara Mida Saragih juga mencatat perempuan di pesisi timur Indonesia bakal menjual kembali produk ikan yang tidak laku dalam bentuk makanan olahan seperti dendeng ikan. "Ini dilakukan biar ada modal untuk melaut keesokan harinya," katanya.
Terkait hal itu, Mida mengatakan perempuan mempunyai peran penting dalam kehidupan nelayan. Nilai-nilai yang dibawa secara turun-temurun itu, secara tidak sadar membutuhkan peran perempuan dalam pengelolaan keuangan juga pemenuhan gizi keluarga.
Sementara itu kondisi perempuan di bidang pertanian juga mempunyai peran yang penting. Tugas perempuan tidak hanya semata-mata menyiapkan bekal atau sarapan untuk suami bekerja di ladang. Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan KRKP Said Abdullah menyatakan dulu perempuan lebih mahir dalam memilih benih yang akan ditabur. Begitu pentingnya perempuan dalam bidang pertanian dianologikan dengan mitos Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran pertanian. "Peran perempuan itu melekat dalam tiap proses penanaman. Dari tahap pra penanaman, masa tanam dan pasca produksi, ada peran perempuan di situ," tegasnya.
Lalu bagaimana peran perempuan di kedua bidang saat ini?
Masalah yang Dihadapi
Secara sistematis pemerintah belum mengakui keberadaan dan peran perempuan dalam bidang perikanan dan pertanian. Data PBB soal kesetaraan gender tahun 2010 menyebut Indonesia berada diperingkat ke-94 dunia. Said Abdullah dari KRKP mengatakan hal itu menandakan Indonesia masih rendah dalam kesejajaran gender. Dampaknya pun bisa dirasakan di setiap sisi masyarakat. Koordinator Divisi Manajemen Pengetahuan Kiara Mida Saragih menyebut dalam UU Perikanan, nelayan diartikan lelaki yang pergi melaut untuk mencari ikan. Kata Mida, secara implisit pemeritah tidak mengakui dan mengabaikan peran perempuan.
Konflik kesetaraan gender baik yang dilakukan pemerintah maupun masyakat tentu berdampak signifikan terhadap perkembangan peran perempuan masa kini. Said mengatakan posisi perempuan dalam bidang pertanian mulai tergeser. Misalnya adalah pemilihan benih yang dulu dilakukan perempuan, kini harus digantikan pabrik-pabrik. Selain itu pemerintah yang cenderung lebih mempercayakan bantuan-bantuannya kepada kelompok tani yang mayoritas diisi laki-laki, semakin membuat peran perempuan terpinggirkan. Dampak lain yang dirasakan adalah kesenjangan pengetahuan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki akan semakin dominan dalam perkembangan pengetahuan pertanian. Namun sebaliknya, itu tidak terjadi pada perempuan.
Mida Saragih dari Kiara meminta pemerintah untuk segera memperhatikan demi keberlangsungan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Kata dia, pemerintah sering terlambat untuk turun tangan membantu proses-proses kemajuan perempuan di desa. Mida mencontohkan apa yang terjadi di Demak, Jawa Tengah. Perempuan di pemukiman nelayan kumuh itu membentuk kelompok Puspita Sari terlebih dahulu untuk memajukan kehidupan mereka tanpa bantuan pemerintah setempat. Perhatian khusus pemda baru datang setelah mereka membuat pencapaian dalam memajukan masyarakat sekitar. Sementara itu Said Abdullah dari KRKP meminta masyarakat untuk bisa menghormati tatanan nilai yang ada. Kata Said dengan begitu masyarakat akan menempatkan peran perempuan kembali pada tempatnya.
Sumber : http://www.kbr68h.com/perbincangan/bumi-kita/20711-pemberdayaan-perempuan-desa
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Kiara mencatat perempuan hidup di pesisir laut bekerja sekitar 17 jam sehari untuk pemenuhan hidup keluarga. Para perempuan itu memang tidak langsung turun lapangan untuk melaut. Tapi andil mereka cukup besar, yaitu mengolah, memproduksi sekaligus menjual hasil tangkapan. Selain itu mereka juga mengatur kebutuhan makanan untuk keluarga. Koordinator Divisi Manajemen Pengetahuan Kiara Mida Saragih juga mencatat perempuan di pesisi timur Indonesia bakal menjual kembali produk ikan yang tidak laku dalam bentuk makanan olahan seperti dendeng ikan. "Ini dilakukan biar ada modal untuk melaut keesokan harinya," katanya.
Terkait hal itu, Mida mengatakan perempuan mempunyai peran penting dalam kehidupan nelayan. Nilai-nilai yang dibawa secara turun-temurun itu, secara tidak sadar membutuhkan peran perempuan dalam pengelolaan keuangan juga pemenuhan gizi keluarga.
Sementara itu kondisi perempuan di bidang pertanian juga mempunyai peran yang penting. Tugas perempuan tidak hanya semata-mata menyiapkan bekal atau sarapan untuk suami bekerja di ladang. Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan KRKP Said Abdullah menyatakan dulu perempuan lebih mahir dalam memilih benih yang akan ditabur. Begitu pentingnya perempuan dalam bidang pertanian dianologikan dengan mitos Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran pertanian. "Peran perempuan itu melekat dalam tiap proses penanaman. Dari tahap pra penanaman, masa tanam dan pasca produksi, ada peran perempuan di situ," tegasnya.
Lalu bagaimana peran perempuan di kedua bidang saat ini?
Masalah yang Dihadapi
Secara sistematis pemerintah belum mengakui keberadaan dan peran perempuan dalam bidang perikanan dan pertanian. Data PBB soal kesetaraan gender tahun 2010 menyebut Indonesia berada diperingkat ke-94 dunia. Said Abdullah dari KRKP mengatakan hal itu menandakan Indonesia masih rendah dalam kesejajaran gender. Dampaknya pun bisa dirasakan di setiap sisi masyarakat. Koordinator Divisi Manajemen Pengetahuan Kiara Mida Saragih menyebut dalam UU Perikanan, nelayan diartikan lelaki yang pergi melaut untuk mencari ikan. Kata Mida, secara implisit pemeritah tidak mengakui dan mengabaikan peran perempuan.
Konflik kesetaraan gender baik yang dilakukan pemerintah maupun masyakat tentu berdampak signifikan terhadap perkembangan peran perempuan masa kini. Said mengatakan posisi perempuan dalam bidang pertanian mulai tergeser. Misalnya adalah pemilihan benih yang dulu dilakukan perempuan, kini harus digantikan pabrik-pabrik. Selain itu pemerintah yang cenderung lebih mempercayakan bantuan-bantuannya kepada kelompok tani yang mayoritas diisi laki-laki, semakin membuat peran perempuan terpinggirkan. Dampak lain yang dirasakan adalah kesenjangan pengetahuan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki akan semakin dominan dalam perkembangan pengetahuan pertanian. Namun sebaliknya, itu tidak terjadi pada perempuan.
Mida Saragih dari Kiara meminta pemerintah untuk segera memperhatikan demi keberlangsungan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Kata dia, pemerintah sering terlambat untuk turun tangan membantu proses-proses kemajuan perempuan di desa. Mida mencontohkan apa yang terjadi di Demak, Jawa Tengah. Perempuan di pemukiman nelayan kumuh itu membentuk kelompok Puspita Sari terlebih dahulu untuk memajukan kehidupan mereka tanpa bantuan pemerintah setempat. Perhatian khusus pemda baru datang setelah mereka membuat pencapaian dalam memajukan masyarakat sekitar. Sementara itu Said Abdullah dari KRKP meminta masyarakat untuk bisa menghormati tatanan nilai yang ada. Kata Said dengan begitu masyarakat akan menempatkan peran perempuan kembali pada tempatnya.
Sumber : http://www.kbr68h.com/perbincangan/bumi-kita/20711-pemberdayaan-perempuan-desa
Selasa, 01 Mei 2012
Langganan:
Postingan (Atom)